Amsal
oleh David CookSetelah melihat sekilas perbedaan antara undangan dari hikmat dan dari kebodohan, sekarang kita alihkan fokus kita kepada ayat di tengah-tengah kiasmus. Bacaan hari ini membedakan para pengunjung yang makan di masing-masing meja perjamuan.
Mereka yang makan di meja kebodohan (Amsal 9:7-8) mempunyai sifat penuh dengan kesombongan dan tidak menghargai didikan atau teguran. Mereka begitu buta terhadap keadaan mereka yang sebenarnya, dengan berpikir bahwa mereka memiliki segalanya, sehingga mereka tersinggung saat didesak untuk bertobat. Perkataan yang mendidik justru mendatangkan cemooh dan kebencian. Sebaliknya, mereka yang bersantap di meja hikmat (ay.8-9) penuh dengan kebijaksanaan dan menyadari kebutuhan mereka untuk dididik. Mereka rela ditegur dan mau memperbaiki diri.
Kata pengantar kitab Amsal menjanjikan bahwa kitab ini akan menambah ilmu orang bijak (1:5-6). Ini karena orang bijak tahu betapa sedikitnya yang mereka ketahui dan betapa liciknya hati mereka (Yeremia 17:9). Oleh sebab itu mereka menghargai didikan dan pengajaran, bahkan hajaran dan teguran, sebagai tindakan kasih. Orang-orang ini memiliki sikap seperti ini karena mereka “takut akan Tuhan” (Amsal 9:10)—sikap hormat kepada Allah karena menyadari kedaulatan dan kekudusan-Nya, bersyukur atas hak istimewa dikasihi oleh-Nya, dan menyadari bahwa Dialah sumber hikmat dan pengetahuan yang sejati.
Takut akan Tuhan menuntun kepada hikmat, yang pada gilirannya akan memberikan berkat umur panjang (ay.11). Ini adalah generalisasi: meskipun ayat 11 bukan menjanjikan umur panjang secara harfiah, tetapi hidup bijaksana yang dijalani sesuai dengan kehendak, tujuan, dan tatanan ciptaan Allah sangat memungkinkan seseorang memiliki umur panjang. Sebagaimana orang bijak yang bersantap di meja hikmat akan menerima berkat, demikian juga orang bodoh akan menanggung akibat (ay.12); ini adalah sesuatu yang harus kita pertanggungjawabkan sebagai individu. Keputusan kita untuk mengejar kebijaksanaan atau kebodohan akan membangun karakter kita—yang dikatakan oleh penafsir Alkitab, Derek Kidner, sebagai sesuatu yang “tidak dapat Anda pinjam, pinjamkan, atau hindari, karena itu adalah diri Anda sendiri”.2
Hikmat sejati adalah pemberian Allah sekaligus hasil pencarian dan pengejaran. Apa itu hidup yang benar-benar bijaksana? Artinya adalah kita mempunyai sikap hati yang berdoa dan berpikiran jernih, mengenali suara hikmat dan menjauhi suara kebodohan; mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan kita; menghormati firman Allah dan melihat segala sesuatu menurut sudut pandang-Nya; bertobat dari dosa-dosa kita; dan hidup sesuai dengan kehendak dan tujuan Allah dalam menciptakan kita.
Menurut Anda, dengan merefleksikan pelajaran dalam Amsal 1–9, mengapa seorang muda perlu mengikuti jalan hikmat?
Bagaimana seharusnya kita menanggapi didikan dan teguran?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)