Amsal

oleh David Cook

Hari 50

Baca 1 Raja-Raja 3:1-28

Saya ingin mengakhiri pembahasan kitab Amsal, suatu kitab kebijaksanaan yang luar biasa, dengan sebuah peringatan. Mari kita melihat Salomo, anak Daud, raja Israel yang menulis sebagian besar Amsal dengan lebih mendalam.

Menjadi bijak berarti menyadari kekuatan—dan keterbatasan—diri kita sendiri. Ini berarti mengakui bahwa di dalam Allah kita menemukan rasa cukup yang sejati, dan kita perlu bergantung mutlak kepada-Nya.

Di awal kitab 1 Raja-Raja, kita mendapatkan gambaran tentang pemerintahan, pencapaian, dan terutama kebijaksanaan Salomo. Allah berfirman kepadanya, “Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau” (1 Raja-Raja 3:12). Namun, di 11:1 kita membaca bahwa “Adapun raja Salomo mencintai banyak perempuan asing”. Ini jelas bertentangan dengan perintah Allah, “Janganlah kamu bergaul dengan mereka . . . sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka” (ay.2).

Begitu banyak hikmat yang diberikan Allah kepada Salomo tercatat dalam kitab Amsal. Bagaimana mungkin ia bisa salah jalan?

Kehidupan Salomo menjadi peringatan bagi kita. Ternyata mengetahui dan menulis tentang hikmat Allah, dan hidup menurut hikmat itu serta mempertahankan sikap takut akan Tuhan di tengah-tengah kesenangan dan tekanan hidup memang berbeda. Bagi Salomo, kesombongan terbukti menjadi musuh terbesarnya.

Betapa sulitnya bagi Salomo untuk tetap rendah hati ketika ia dipuja banyak orang yang mencari nasihatnya! Ratu Syeba adalah salah satu dari banyak penguasa yang terkesan oleh kebijaksanaan Salomo (10:6-9). Mungkin saja Salomo tergoda untuk tidak lagi memandang hikmatnya sebagai karunia Allah dan meyakininya sebagai bakat alami pada dirinya.

Belum lagi kekayaannya, seperti yang diterangkan dalam 1 Raja-Raja 4:20-28. Selain kebijaksanaan, kekayaan Salomo juga adalah pemberian Allah: “Dan juga apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan” (3:13). Namun, Salomo dalam kekayaannya melupakan Tuhan (bandingkan Amsal 30:9).

Menjadi bijak berarti menyadari kekuatan—dan keterbatasan—diri kita sendiri. Ini berarti mengakui bahwa di dalam Allah kita menemukan rasa cukup yang sejati, dan kita perlu bergantung mutlak kepada-Nya.

Kekuasaan, kekayaan, dan popularitas adalah kombinasi yang paling ampuh untuk meninggikan hati manusia. Salomo memiliki ketiganya, dan itulah yang menyebabkan kejatuhannya. Ia menyangka bahwa ia cukup bijak, tetapi ternyata dirinya telah dikendalikan oleh kesombongannya. “Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan; dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya” (1 Raja-Raja 11:6).

Akan tetapi, ada seorang Raja yang tetap rendah hati dan taat meskipun memiliki segala kuasa dan kebijaksanaan (lihat Matius 13:54; Kolose 2:3). Tidak ada kesombongan dalam diri Tuhan Yesus, dan hidup-Nya benar-benar berintegritas.

Datang kepada Kristus berarti menerima hikmat Allah. Mengikuti Kristus berarti menjalani hidup yang benar-benar bijaksana!


Renungkan:

Apa saja karunia dan talenta yang telah Allah berikan kepada Anda? Bagaimana Anda dapat menggunakannya untuk kemuliaan Allah sambil terus mengingatkan diri untuk bergantung mutlak kepada-Nya?

Bacalah kembali Amsal 1:7 dan 31:30. Renungkan, hafalkan, dan buatlah komitmen baru untuk senantiasa takut akan Tuhan, karena memang itulah permulaan dari hikmat.

comment

journal

share


Seri Perjalanan Iman®  adalah materi terbitan Our Daily Bread Ministries.

Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang.

Hak dan Izin  |  Syarat dan Ketentuan  |  Kebijakan Privasi