Rut
oleh Sim Kay TeeBelum lama ini, saya pergi ke bandara untuk melepas seorang teman sekelas yang pindah ke luar negeri bersama keluarganya. Setelah menganggur lebih dari setahun, akhirnya ia mendapat pekerjaan di sebuah kota yang terkenal tidak ramah kepada orang Kristen. Namun, gajinya besar, demikian alasannya, dan anak-anaknya hanya perlu berada di sana selama dua tahun.
Kisah Rut dimulai dengan Elimelekh yang mengambil keputusan berat untuk memboyong keluarganya ke Moab. Pada saat itu, kelaparan hebat melanda negeri mereka sehingga mustahil untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari (Rut 1:1). Elimelekh hidup “pada zaman para hakim memerintah” (1:1). Tidak diberitahukan kapan pastinya hal itu terjadi dalam rentang 300 tahun (sekitar 1380–1050 SM),4 yakni antara kematian Yosua (Yosua 24:29) dan permulaan masa pemerintahan Saul (1 Samuel 13:1). Namun, yang kita tahu, masa itu penuh dengan gejolak. Ada ketidakstabilan politik, kemerosotan moral, dan penyembahan berhala; masa ketika “setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim-Hakim 17:6; 21:25). Umat Allah telah berpaling dari-Nya dan menyembah berhala (2:10-13; 3:5-6).
Allah telah memperingatkan bahwa jika umat-Nya berubah setia, Dia akan mendisiplinkan mereka dengan mendatangkan kelaparan ke negeri itu (Ulangan 11:16-17). Pernyataan bahwa “Tuhan telah memperhatikan umat-Nya dan memberikan makanan kepada mereka” (Rut 1:6) menunjukkan bahwa kelaparan ini adalah hukuman Allah atas ketidaksetiaan Israel (Imamat 26:18-20; Amos 4:6-9).
Ironisnya, Elimelekh yang namanya berarti “Allah adalah rajaku,” justru tidak mengakui Allah sebagai Raja. Ia tidak menerima tangan Allah yang sedang menghajar umat-Nya melalui kelaparan. Apabila ia menerimanya, tanggapan yang benar seharusnya adalah bertobat, bukan pindah ke negeri lain (Ulangan 30:1-3). Alih-alih bertobat, memohon belas kasihan Allah, dan mempercayai Dia untuk menyediakan makanan di Tanah Perjanjian, Elimelekh mencari jalan keluarnya sendiri. Kepindahannya ke Moab bersama keluarga kelak terbukti sebagai keputusan yang buruk dan tidak bijaksana.
Betapa anehnya kenyataan bahwa ada kelaparan di Betlehem, padahal Betlehem artinya “rumah roti.” Di sisi lain, Allah menyebut Moab “tempat pembasuhan-Ku” (Mazmur 108:10). Istilah itu merupakan sebuah ejekan dan hinaan, karena tempat pembasuhan identik dengan sisa-sisa kotoran setelah mencuci kaki. Secara tersirat, sesungguhnya Elimelekh meninggalkan “rumah roti” demi tanah tandus tempat pembuangan sampah!
Keputusan-keputusan besar dalam hidup ini tidak bisa sepenuhnya diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi atau keuangan. Harus ada pertimbangan rohani. Mungkin Moab adalah negeri yang baik untuk memperoleh makanan, tetapi bukan tempat yang mendukung untuk menjalankan hidup kudus atau membesarkan anak-anak yang takut akan Tuhan. Moab mungkin menawarkan kecukupan jasmani, bahkan keberhasilan duniawi, tetapi menghalangi pertumbuhan rohani, bahkan menjadi ancaman terhadap ketahanan iman.
Jika Anda harus menafkahi keluarga, akankah Anda membuat keputusan yang berbeda dari keputusan Elimelekh? Apa saja pertimbangan penting yang mempengaruhi keputusan Anda?
Apakah Anda, seperti Elimelekh, sedang meninggalkan Betlehem (melenceng dari kehendak Allah) untuk pergi ke Moab, “tempat pembasuhan” yang kotor (Mazmur 108:10)? Sudah saatnyakah Anda kembali?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)