Rut

oleh Sim Kay Tee

Hari 2

Baca Rut 1:3-5

Ada sebuah dongeng modern yang mengisahkan tentang bagaimana seekor katak berhasil direbus hidup-hidup secara perlahan. Alasannya, jika si katak langsung diceburkan ke dalam air mendidih, ia pasti segera melompat keluar. Namun, jika dimasukkan ke dalam air suam yang kemudian dididihkan perlahan, ia tidak akan merasakan adanya bahaya. Katak akan menyesuaikan diri dengan suhu yang meningkat hingga akhirnya mati.

Nilai hidup seseorang pasti dipengaruhi oleh budaya tempat tinggalnya.

Tak lama setelah pindah ke Moab, Naomi menjanda (Rut 1:3). Semuanya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sendirian tanpa suami, ia kini harus membesarkan dua putranya seorang diri di negeri asing. Jalan keluar yang masuk akal adalah secepatnya kembali ke Tanah Perjanjian.

Bukannya kembali ke Israel, Naomi justru menetap di Moab. Elimelekh dan Naomi bermaksud tinggal di Moab untuk sementara “sebagai orang asing” (1:1), tetapi ternyata mereka masih di situ hingga “sepuluh tahun” (1:4). Persinggahan mereka untuk sekadar mengungsi telah berubah menjadi pemukiman tetap. Karena akhirnya menetap di Moab, kedua putranya pun menikahi perempuan Moab (1:4; 4:10).

Allah telah memerintahkan orang Yahudi untuk tidak menikahi orang dari bangsa-bangsa di sekitar mereka: “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki, sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain” (Ulangan 7:3-4, lihat juga Keluaran 34:15-16). Perempuan Moab dikenal tak bermoral dan menyembah berhala (Bilangan 25:1-2). Bayangkan kemelut moral dan rohani yang dialami Naomi. Kebudayaan Moab yang menyembah berhala dan serba bebas bukanlah lingkungan yang tepat untuk membesarkan anak (Nehemia 13:23-26). Nilai hidup seseorang pasti dipengaruhi oleh budaya tempat tinggalnya.

Sepuluh tahun kemudian, Mahlon dan Kilyon meninggal pula. Tinggallah Naomi seorang diri, “kehilangan kedua anaknya dan suaminya” (Rut 1:5). Ini menjadi akhir yang pilu dari garis keturunan Elimelekh. Bagi masyarakat Yahudi zaman itu, rasa aman dan martabat seorang perempuan terletak pada suami dan anak lelaki. Kini, Naomi tidak punya keturunan, karena itu ia kehilangan rasa aman; seorang janda tanpa ahli waris adalah wujud kemiskinan tanpa harapan. Ia tidak memiliki harapan bagi masa depan keluarganya. Untuk meneruskan nama Elimelekh, harus ada pewaris.

Mengenai kematian tiga pria dalam hidup Naomi, kita hanya bisa menduga-duga penyebabnya karena Alkitab tidak mengatakannya. Menurut tradisi Yahudi, kematian ketiganya adalah bentuk hukuman Allah atas dosa-dosa mereka—Elimelekh meninggalkan Tanah Perjanjian, Mahlon dan Kilyon menikahi perempuan Moab. Kenyataan bahwa keduanya menikah selama sepuluh tahun tanpa dikaruniai anak juga memperlihatkan tangan Allah yang mendisiplinkan mereka. Kemandulan termasuk dalam daftar kutuk yang difirmankan Allah (Ulangan 28:15,18).

Kisah ini berawal dengan musibah. Keluarga itu membuat keputusan buruk dan menukar bencana kelaparan dengan tiga kematian. Yang tersisa dari sebuah keluarga yang tadinya utuh adalah tiga janda—Naomi dengan kedua menantunya, Rut dan Orpa, tetapi tanpa keturunan laki-laki.


Renungkan:

Jika Anda menjadi Naomi, akankah Anda mengizinkan anak-anak Anda menikahi orang yang berasal dari etnis dan budaya berbeda? Akankah Anda melarang mereka menikahi orang yang berbeda agama (Rut 1:4)? Ya atau tidak, dan mengapa?

Apa saja keuntungan dan bahaya dari pembauran dengan nilai-nilai masyarakat tempat kita tinggal? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kita mengambil yang baik dan menolak yang buruk?

comment

journal

share


Seri Perjalanan Iman®  adalah materi terbitan Our Daily Bread Ministries.

Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang.

Hak dan Izin  |  Syarat dan Ketentuan  |  Kebijakan Privasi