Amsal

oleh David Cook

Hari 43

Baca Amsal 29

Amsal 29 merupakan bagian terakhir dari kumpulan amsal yang disusun oleh para ahli kitab pada era Raja Hizkia (lihat Hari 37). Hari ini, saya ingin menyoroti dua pasang amsal dan dua amsal terpisah.

Segala yang terjadi atas hidup kita—baik atau buruk—dirancang atau diizinkan oleh Allah agar kita terus bertumbuh dalam kesalehan.

Amsal 29:2 dan 16 membandingkan akibat dari bertambahnya orang benar dan fasik. Yang pertama membawa sukacita, sementara yang kedua justru menimbulkan keluh kesah (ay.2). Yang pertama menjunjung keadilan, sementara yang kedua tidak mempedulikannya (ay.7). Sebagai akibatnya, yang pertama akan tetap bertahan, sementara yang kedua akan dihukum (ay.16).

Amsal 29:15 dan 17 menekankan betapa pentingnya mendisiplinkan anak. Setiap dari kita sudah punya natur dosa, oleh sebab itu dibutuhkan teguran dan disiplin agar seorang anak tidak mempermalukan orangtuanya (ay.15) tetapi justru membawa sukacita dan ketenteraman (ay.17; bandingkan 22:15; 23:13-14). Walaupun kekerasan dan penyiksaan fisik harus dihindari, ketiadaan hukuman bisa berujung pada ketidakpatuhan sang anak.

Amsal 29:18 mengingatkan kita akan nilai penting dari firman Allah dalam menuntun kita. Tanpa firman Allah, kita akan tersesat dalam dosa. Ketaatan kepada perintah-Nya akan membawa berkat.

Kita sepatutnya bersyukur karena Allah telah menyatakan nilai dan kehendak-Nya lewat firman-Nya! Bayangkan betapa kacaunya dunia ini tanpa bimbingan Allah! Seorang pengkhotbah asal Inggris, C. H. Spurgeon sangat menekankan pentingnya bersungguh-sungguh merenungkan wahyu Allah. Ia menyatakan bahwa inilah ibadah kita, “ketika kuasa transformasi dari anugerah bergerak mengubahkan kita menjadi serupa dengan-Nya, melalui firman sebagai cermin”.9

Amsal 29:25 berkata bahwa keselamatan dapat ditemukan dalam kepercayaan kepada Tuhan (bandingkan 18:10). Bila kita mempercayai manusia dan bukan Tuhan, kita dapat jatuh ke dalam perangkap. Kita membiarkan manusia berkuasa dan menancapkan pengaruh atas hidup kita. Takut akan orang justru menjadi jerat yang mengikat.

Kita perlu mengingat bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang mengendalikan segalanya. Dia bahkan mengatur hati raja (21:1). Kebenaran ini bisa jadi merupakan kebenaran Alkitab yang paling menghibur kita—Roma 8:28 mengingatkan kita bahwa Allah tidak saja mengendalikan segala sesuatu, tetapi Dia juga melakukan-Nya demi kebaikan kita. Dalam konteks Roma 8, “kebaikan” itu, yang merupakan tujuan-Nya, adalah agar kita diubahkan menjadi serupa dengan Yesus Kristus (ay.29). Segala yang terjadi atas hidup kita—baik atau buruk—dirancang atau diizinkan oleh Allah agar kita terus bertumbuh dalam kesalehan.

Percayalah kepada Dia yang memegang kendali dan janganlah jatuh ke dalam takut akan manusia. Bapa gereja, Agustinus, pernah berkata, “Karena itu, tak satu hal pun akan terjadi, kecuali jika yang Mahakuasa menghendakinya terjadi: Baik Dia mengizinkannya terjadi, atau Dia sendiri yang mewujudkannya”.10

9 Steve Miller, C.H. Spurgeon on Spiritual Leadership (Chicago: Moody Publishers, 2008), 109.
10 St. Augustine, Faith, Hope and Charity, terj. Louis A. Arand (New York: Paulist Press, 1947), 89.

Renungkan:

Manakah dari keempat amsal yang disorot ini yang paling menguatkan atau paling dibutuhkan dalam hidup Anda saat ini? Bagaimana Anda dapat menerapkannya dalam ucapan, tindakan, dan pikiran Anda hari ini?

Bagaimana pengetahuan akan firman, perintah, dan pimpinan Tuhan (Amsal 29:18) mengubah cara hidup Anda? Perubahan apa lagi yang mungkin Anda butuhkan?

comment

journal

share


Seri Perjalanan Iman®  adalah materi terbitan Our Daily Bread Ministries.

Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang.

Hak dan Izin  |  Syarat dan Ketentuan  |  Kebijakan Privasi