Filipi

oleh David Sanford

Hari 15

Baca Filipi 3:4-6

Selama lebih dari 35 tahun, salah seorang pembimbing saya berulang kali memperingatkan, “Berhati-hatilah dengan orang yang selalu menganggap dirinya benar.” Merasa yakin akan kebenaran diri sendiri adalah bentuk kesombongan rohani yang berbahaya. Tidak ada manusia yang benar setiap saat; hanya Allah yang selalu benar.

Merasa yakin akan kebenaran diri sendiri adalah bentuk kesombongan rohani yang berbahaya.

Itulah sebabnya Paulus bukan hanya mendesak kita untuk “tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah” (Filipi 3:3) tetapi juga menjelaskan bagaimana ia pernah menganiaya jemaat Kristen mula-mula karena kesombongan rohaninya.

Sebelum pertobatannya yang radikal, Paulus mengira dirinya selalu benar. Dengan nama Saulus (nama Ibraninya), ia memelihara dan memamerkan garis keturunannya yang tak bercela.

Paulus mencatat tujuh kesempurnaan dalam garis keturunannya, yang dianggapnya sebagai faktor penting bagi jati dirinya. Pertama, ia “disunat pada hari kedelapan” (ay.5) sesuai dengan hukum Taurat. Kedua, ia berasal “dari bangsa Israel” (ay.5), artinya ia tidak “tercemar” oleh darah non-Yahudi. Ketiga, “dari suku Benyamin” (ay.5), suku yang paling setia kepada kerajaan Israel masa silam. Keempat, ia adalah “orang Ibrani asli” (ay.5) dalam bahasa, pola pikir, dan kehidupannya. Kelima, “tentang pendirian terhadap hukum Taurat,” Paulus adalah “orang Farisi” (ay.5), yang berarti pandangan agamanya termasuk garis keras. Keenam dan ketujuh, ia menekankan hal-hal yang “sempurna” dalam hidupnya: “tentang kegiatan aku penganiaya jemaat” (ay.6), dan “tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat” di antara orang-orang segolongannya (ay.6).

Tiga “kesempurnaan” pertama diwarisinya karena garis keturunan. Saulus tidak melakukan apa pun untuk memperolehnya. Yang keempat didapatkan sebagian dari warisan keturunan, sebagian dengan belajar (lihat Kisah Para Rasul 22:3), dan sebagian lagi dipoles menjadi kesombongan rohani oleh Saulus sendiri. Pada akhirnya, Saulus menolak pandangan Gamaliel, gurunya yang moderat (lihat Kisah Para Rasul 5:34), dan meyakini bahwa kepercayaan garis keras serta legalis yang dipegangnya melampaui sesamanya orang Farisi. Ia memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan dan berani melakukannya. Hukuman rajam terhadap Stefanus adalah pemicu terakhir, dan setelah itu Saulus menjadi pemburu orang Kristen yang haus darah (Kisah Para Rasul 8:3; 9:1-2; 26:10).

Bagaimana Saulus menjadi begitu sombong rohani dan bengis? Sebab ia menganggap dirinya sangat saleh, hingga ia siap melakukan apa pun demi membela agama dan cara hidupnya.

Dalam benak Saulus, sudah tak ada kesempatan lagi untuk mempengaruhi orang Kristen kembali kepada kepercayaan Yudaisme. Sebaliknya, ia berpikir sekaranglah saatnya pembantaian. Namun, betapa ajaibnya Yesus Kristus sendiri campur tangan dalam kehidupan Saulus. Karena Kristus, seorang penganiaya besar menjadi pemberita Injil besar di seluruh Kekaisaran Romawi kuno. Pertobatannya memberikan pengharapan, bahkan hingga zaman ini.


Renungkan:

Buatlah daftar pihak-pihak yang menganiaya orang Kristen pada masa kini.

Berdoalah dengan berani agar para penganiaya itu kelak diubahkan Allah menjadi penginjil, misionaris, dan perintis gereja.

comment

journal

share


Seri Perjalanan Iman®  adalah materi terbitan Our Daily Bread Ministries.

Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang.

Hak dan Izin  |  Syarat dan Ketentuan  |  Kebijakan Privasi