Rut
oleh Sim Kay TeeDalam banyak masyarakat patriarki, orangtua lebih menghargai anak lelaki daripada anak perempuan. Keistimewaan anak lelaki ini juga kental dalam budaya Yahudi. Anak lelaki meneruskan nama keluarga, sementara anak perempuan menikah, masuk dalam keluarga lain untuk melanjutkan garis keturunan keluarga suami mereka. Masyarakat patriarki juga mengikuti garis keturunan laki-laki—harta dan gelar keluarga diwariskan kepada keturunan lelaki saja. Perjanjian Lama mengizinkan anak perempuan mewarisi harta keluarga hanya ketika tidak ada pewaris laki-laki. Anak-anak perempuan itu harus menikah dengan orang dari suku ayah mereka untuk menjaga warisan keluarga tetap dalam keluarga tersebut (baca Bilangan 27:1-11; 36:5-9).
Hukum Musa mengharuskan anak laki-laki menikahi janda kakaknya yang meninggal tanpa anak lelaki (Ulangan 25:5-10). Hal ini disebut pernikahan levirat. Istilah “levirat” berasal dari levir, kata dalam bahasa Latin yang artinya “saudara dari suami.” Hukum ini bertujuan untuk menyediakan pewaris bagi seorang lelaki yang meninggal agar garis keturunannya tetap berlanjut. Hukum ini juga dirancang untuk menjaga janda yang ditinggalkan. Pernikahan levirat merupakan latar belakang dari kisah Yehuda, Onan anak laki-lakinya, dan Tamar menantu perempuannya (Kejadian 38:6-30). Hukum ini pula yang melatarbelakangi kitab Rut. Itulah yang dipikirkan Naomi: ia mencoba membujuk menantu-menantunya untuk kembali ke Moab karena pernikahan levirat tidak berlaku bagi mereka.
Naomi tidak benar-benar gembira melihat tekad kedua menantunya untuk ikut ke Betlehem (Rut 1:10). Ia tahu bahwa mereka tidak punya masa depan jika tetap tinggal bersamanya. Naomi terlalu tua untuk menyediakan suami baru bagi mereka untuk menggantikan anak-anak lelakinya yang sudah mati. Karena itu, mengikuti Naomi bukan pilihan yang baik. Dua kali lagi ia mendorong mereka pergi: “Pulanglah . . . pulanglah” (1:11-12). Namun, alih-alih mengakui bahwa kemalangannya merupakan akibat dari keputusan buruk keluarganya untuk meninggalkan Tanah Perjanjian, Naomi malah menyalahkan Allah dengan berkata, “Tangan Tuhan teracung terhadap aku.” Bukannya hancur hati dan bertobat di hadapan Allah, Naomi menyimpan kepahitan terhadap-Nya (ay.13).
Mungkin pembaca berharap Naomi mengajak kedua menantu dari bangsa kafir itu datang ke Tanah Perjanjian untuk mengenal Yahweh, Allah yang sejati. Namun, ia justru menyuruh mereka kembali kepada kehidupan yang menyembah berhala (1:15). Yang satu berhasil diyakinkan dan mau berpisah walau dengan penuh air mata: Orpa pulang ke Moab dan kembali menyembah “Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab” (1:15; 1 Raja-Raja 11:7). Sayang sekali, Orpa kembali ke jalan yang sesat! Namun, Rut tidak terpengaruh, ia “tetap berpaut pada [Naomi]” (Rut 1:14).
Mengapa Naomi yang mengenal Allah sejati justru menghalangi dua wanita penyembah berhala itu untuk mengikut Dia? Ada berbagai pandangan. Warren Wiersbe, seorang penafsir Alkitab, berpendapat, “Naomi tidak mau membawa Orpa dan Rut ke Betlehem karena mereka adalah bukti nyata bahwa ia dan suaminya telah mengizinkan dua anak lelaki mereka menikahi wanita dari luar umat perjanjian. Dengan kata lain, Naomi sedang berusaha menyembunyikan pelanggarannya.”8
Pikirkan alasan Naomi untuk melarang Rut dan Orpa kembali ke Tanah Perjanjian bersamanya (Rut 1:11-13). Menurut Anda, apakah alasan itu tepat? Mengapa?
Dalam hal apa saja kata-kata atau tindakan kita bisa menghalangi atau menghambat seseorang mencari kebenaran tentang Allah?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)