Yakobus
oleh Douglas EstesSekarang Yakobus melompat dari topik soal ketekunan kepada soal meminta hikmat dari Allah. Walaupun terkesan tiba-tiba, memang itulah gaya penulisan Yakobus.
Ia tidak menulis untuk menjawab persoalan-persoalan spesifik dari suatu gereja yang bertikai, sebagaimana yang sering dilakukan Paulus. Sebaliknya, Yakobus melebur pengalamannya seumur hidup melayani Tuhan ke dalam sebuah kitab singkat tentang hikmat. Bisa dikatakan bahwa hikmat ini adalah “hikmat praktis,” yang berarti bahwa Yakobus bertujuan mendorong pembacanya untuk menerapkan pengajarannya dalam bentuk tindakan. Kemungkinan Yakobus sudah sering mengkhotbahkan pemikirannya tentang hidup berhikmat tersebut sebagai bagian dari pesan-pesan yang lebih panjang dalam pelayanannya selama ini di muka umum.
Sebenarnya lompatan topiknya tidak terlalu jauh. Yakobus menutup dorongannya tentang ketekunan dengan menyatakan bahwa ketekunan itu akan membuat kita utuh “dan tak kekurangan suatu apapun” (Yakobus 1:4). Lalu katanya, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat . . .” (ay.5). Yakobus hendak mengatakan bahwa masalah-masalah dalam hidup, yang dihadapi dengan iman, akan menghasilkan daya tahan yang menuntun kepada kedewasaan rohani—kehidupan yang utuh dan penuh arti. Namun, Yakobus tidak berhenti di sana; ia menambahkan bahwa sekalipun kita memiliki kedewasaan iman yang utuh, kita tetap membutuhkan hikmat untuk terus bertumbuh di dalam Kristus dan untuk menghadapi ujian serta pencobaan di masa mendatang. Yakobus bergerak dari prinsip umum tentang pertumbuhan di dalam Kristus kepada pengingat bahwa pertumbuhan ini tidak pernah berhenti. Demikianlah cara Yakobus merangkai tema-temanya.
Ujian dalam hidup akan menambah daya tahan dan juga iman kita—sebab ketika kita membutuhkan hikmat untuk terus melangkah maju, kita harus meminta kepada Allah. Allah akan memberikan hikmat “dengan murah hati” kepada kita “dengan tidak membangkit-bangkit” (mencerca) kebutuhan atau permohonan kita (ay.5). Di sini sikap Yakobus konsisten dengan bagian lain dari Alkitab yang menyatakan bahwa hikmat pertama-tama berasal dari Allah (mis. Amsal 2:6), dan baru kemudian dari usia atau pengalaman.
Namun, Yakobus memberikan satu peringatan yang jelas tentang meminta hikmat kepada Allah. Kita harus “memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang” (Yakobus 1:6). Mungkinkah kita tidak bimbang? Ketika memakai kata bimbang sekarang ini, kita mengaitkannya dengan perasaan campur aduk tentang iman kita. Akan tetapi, Yakobus memakai sebuah kata yang tidak lazim dalam bahasa aslinya, yang berarti “ragu-ragu karena ketidakpastian.” Maksud Yakobus bukanlah bahwa kita tidak akan menerima hikmat jika kita sulit memilih antara hal-hal duniawi dan hal-hal surgawi; ia mengatakan bahwa jika kita merasa tidak yakin mau menerima hikmat, kita tidak akan menerimanya. Kita harus datang kepada Allah dan meminta-Nya tanpa ragu atau berubah pikiran.
Jika kita berubah pikiran dan tidak yakin mau menerima hikmat dari Allah, keraguan kita akan membuat kita terombang-ambing “sama dengan gelombang laut” (1:6). Kita akan “mendua hati”—berpendirian tidak tetap—dan “tidak akan tenang” (1:8), karena kita takkan mampu memilih antara apa yang diajarkan hikmat Allah dan apa yang dikatakan menurut “hikmat” kita sendiri kepada kita.
Kabar buruknya: kita akan selalu menghadapi ujian. Kabar baiknya: Allah selalu siap memberi kita hikmat untuk menghadapi ujian-ujian tersebut dan bertumbuh dalam iman kita. Kabar terbaiknya: Dia memberikannya dengan murah hati!
Dalam keadaan apa sajakah kita membutuhkan hikmat dari Allah? Bagaimana hikmat dapat membantu kita menghadapi keadaan-keadaan tersebut?
Ketika Anda ingin meminta hikmat kepada Allah, keraguan apa sajakah yang muncul dalam hati dan pikiran Anda? Bagaimana Anda mengatasi keraguan tersebut?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)