Yakobus
oleh Douglas EstesSetelah membahas persoalan yang sulit, Yakobus kembali membahas tentang bagaimana kita sepatutnya berbicara dengan satu sama lain. Untuk itu, ia kembali menggunakan sapaan hangat, “saudara-saudaraku” (Yakobus 4:11).
Yakobus memperingatkan agar kita jangan “saling memfitnah” (ay.11). Di sini, fitnah digambarkan dalam dua cara: pertama, mengatakan hal buruk atau jahat tentang saudara seiman; dan kedua, menghakimi sesama orang Kristen.Yakobus sudah menyebut tentang masalah lidah ini sebelumnya (3:8-9).
Ketika kita memfitnah seseorang, perbuatan itu lebih dari sekadar menyakiti mereka. Ketika kita memfitnah atau menghakimi orang lain, ada dua dampak lain yang terjadi: pertama, kita mencela hukum Allah atas hidup kita; dan kedua, sesungguhnya kita sedang bertindak sebagai hakim atas hukum Allah.
Maksudnya adalah ketika kita menyerang orang lain dengan perkataan kita, itu berarti kita merebut peran Allah. Hanya Allah yang layak menghakimi manusia, dan ini ditegaskan oleh hukum-Nya atas hidup kita. Karena itu, memfitnah orang lain dan menghakimi hidup mereka sesungguhnya sama dengan menjadikan diri kita sebagai Allah. Poin ini sangat penting sampai-sampai musuh Allah, si Iblis, dijuluki “pemfitnah”.
Para pembaca modern sering melewatkan maksud dari bagian ini. Ketika Yakobus mengecam fitnah dan penghakiman terhadap saudara seiman, ia bukan melarang kita memberi nasihat keras yang disampaikan dalam kasih kepada sesama orang percaya, atau menghalangi kita mengingatkan orang untuk berbalik dari dosa (lihat 5:19-20). Yakobus tidak berbicara soal toleransi melainkan soal penghakiman. Perkataan Yesus yang begitu sering disalahgunakan oleh dunia kita saat ini, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matius 7:1) justru diperjelas dalam tulisan Yakobus ini.
Yang menjadi persoalan di sini adalah pribadi dan sifat Allah. Allah adalah satu-satunya “Pembuat hukum dan Hakim” yang sejati, dan satu-satunya Pribadi yang berkuasa “menyelamatkan dan membinasakan” (Yakobus 4:12). Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta, sangatlah penting kita tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang merampas kedaulatan-Nya. Namun, ketika kita memfitnah dan menghakimi, kita sedang merebut kedaulatan Allah, dan itulah alasan Yakobus menutup dengan pertanyaan tajam ini: “Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” (ay.12). Yang menjadi penekanan adalah kata “engkau” dan “siapa”; Yakobus hendak mengatakan, “Apakah engkau pikir engkau adalah Allah?”
Allah telah memberikan begitu banyak hak istimewa kepada kita dalam hidup ini sampai-sampai kita bisa tergoda untuk merebut kedaulatan-Nya. Namun sebaliknya, kita seharusnya merendahkan diri dan memuliakan Allah dengan hidup kita. Yesus Kristus pun melakukan hal tersebut: walaupun Dia setara dengan Allah, tetapi untuk memberi teladan bahwa Dia tidak merebut kedaulatan Allah, Dia rela taat dengan menyerahkan nyawa-Nya (Filipi 2:6-11). Alih-alih memfitnah orang lain, seharusnya kita meneguhkan mereka agar Allah dimuliakan.
Mengapa kita bisa saja tergoda untuk memfitnah saudara seiman kita? Kerusakan apa yang dialami oleh mereka dan diri kita sendiri akibat fitnah yang terlontar?
Mengapa manusia di dunia ini memfitnah sesamanya? Bagaimana fitnah menunjukkan bagaimana sebenarnya kita memandang diri sendiri dan juga Allah?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)