Yakobus
oleh Douglas EstesSaat memulai suratnya, Yakobus menyebutkan namanya tetapi tidak menyinggung bahwa ia adalah gembala jemaat di Yerusalem atau saudara laki-laki Tuhan Yesus. Sebaliknya, ia menyebut dirinya ″hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus″ (Yakobus 1:1). Yakobus telah menundukkan kehendaknya kepada kehendak Allah, seperti seorang hamba kepada tuannya. Secara khusus, Allah itu adalah Tuhan Yesus Kristus, Sang Mesias.
Yakobus menulis kepada ″kedua belas suku″ (ay.1). Apakah ia juga menulis kepada orang bukan Yahudi (seperti kita sekarang ini)? Ya, tetapi secara tidak langsung. Perhatiannya ditujukan terutama kepada umat Kristen Yahudi dari Israel. Persis seperti Paulus sering menulis kepada orang bukan Yahudi tanpa mengecualikan orang Yahudi (Galatia 2:7), di sini Yakobus menulis kepada orang Yahudi tanpa mengecualikan orang bukan Yahudi.
Yakobus menulis sebagaimana halnya Yesus mengajar, serupa dengan cara orang-orang bijak pada abad-abad sebelumnya mengajar. Alih-alih membahas dari topik ke topik, Yakobus merangkai beberapa ide kunci dalam suratnya. Ide-ide tersebut muncul pasang surut seperti gelombang, keluar masuk sementara ia membahas sejumlah persoalan penting dengan para pembacanya.
Yakobus mengawali dengan memberikan dorongan kepada kita saat setiap kali menghadapi pencobaan: ″anggaplah sebagai suatu kebahagiaan″ saat kita dicobai sebagai pengikut Yesus (Yakobus 1:2). Tentu itu bukan perasaan yang biasa kita miliki terhadap pencobaan!
Yakobus tidak menjabarkan pencobaan seperti apa yang mungkin dihadapi para pembacanya, tetapi ada begitu banyak pencobaan yang dapat menguji iman kita (lihat Roma 5:3). Alasan dari menganggap ujian sebagai kebahagiaan bukanlah karena kita senang menderita atau ingin membuktikan ketangguhan kita. Sebaliknya, kita menganggap pergumulan dengan pencobaan itu sebagai “kebahagiaan” karena ujian dapat menguatkan iman kita.
Yakobus menjelaskan bahwa ujian dan pencobaan adalah bagian yang diperlukan untuk pertumbuhan menuju kedewasaan iman karena ujian menghasilkan daya tahan (″ketekunan,″ Yakobus 1:3), dan daya tahan harus berkembang menghasilkan ″buah yang matang″ dalam diri kita agar kita menjadi dewasa dan utuh (ay.4). Daya tahan ini adalah sikap sabar dan setia yang kita miliki di tengah-tengah ujian. Dalam menjelaskan keutuhan diri yang diperoleh lewat daya tahan tersebut, Yakobus memakai kata-kata deskriptif yang menggambarkan proses pembuahan untuk mencapai kematangan dan kesempurnaan (ay.4). Kata-kata tersebut mengacu kepada pemikiran tentang kesetiaan umat Kristen dalam menghadapi kesulitan, dan kesetiaan tersebut akan membawa mereka kepada kedewasaan rohani.
Yakobus mengawali dengan memberitahukan para pembacanya tentang kesulitan dalam hidup—dan pilihan-pilihan yang akan mereka hadapi dalam berbagai keadaan. Apa pun kesulitan yang kita jumpai, kiranya Allah menganugerahkan ″kebahagiaan″ kepada kita di tengah-tengah pergumulan tersebut, agar suatu hari kelak kita dapat mencapai kedewasaan rohani. Sukacita yang kita alami akan jauh lebih besar daripada suatu perasaan gembira. Sukacita atau kebahagiaan itu adalah rasa cukup yang mengakar dalam hati atas rancangan Allah bagi kita, dan perasaan itu akan bertambah kuat ketika kita semakin mendekat kepada-Nya.
Bagaimana kita dapat hidup sebagai “hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus” (Yakobus 1:1) di tengah dunia ini?
Bagaimana reaksi Anda biasanya terhadap ujian dan kesulitan dalam hidup? Bagaimana perkataan Yakobus menguatkan Anda dalam menghadapi pergumulan-pergumlah di masa depan?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Fetty N on November 27, 2020 pukul 3:26 pm
Your comment is awaiting moderation.