Mazmur 1 – 50
oleh Mike RaiterSangat mungkin, Mazmur 42 dan 43 pada teks aslinya merupakan satu kesatuan. Secara keseluruhan, keduanya dapat dibagi menjadi tiga bagian, dan masing-masing diakhiri dengan ucapan yang sama, “Mengapa, engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?” (42:6,12; 43:5). Ini adalah mazmur pertama dalam jilid dua kitab Mazmur (dari Mazmur 42 sampai 72), dan merupakan tulisan bani Korah, para pemusik yang memimpin penyembahan di Bait Suci.
Mazmur-mazmur ini melukiskan perasaan seorang manusia yang ditinggalkan Allah. Pasal 42 dimulai dengan kiasan seekor rusa yang tersesat di gurun dan kehilangan sumber air yang memberinya kehidupan. Pemazmur merasakan keputusasaan serupa. Ia merindukan hadirat Allah (ay.2-3).
Ia berada di negeri asing dan sangat sedih karena tak dapat menikmati ibadah di Bait Suci (ay.4-5; 43:3). Rasa keterasingannya mencapai titik terendah pada bait kedua, di mana orang-orang asing mengolok-olok ketiadaan Allahnya (42:10-11). Di sini tampak pergolakan jiwanya. Saat tertekan, emosi manusia memang pasang surut. Pemazmur mengungkapkan, “Jiwaku tertekan dalam diriku” (ay.7, lihat juga ay.10), tetapi kemudian ia mengingatkan dirinya sendiri, “Tuhan memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian” (ay.9).
Pada bagian ketiga, pemazmur menantikan Allah untuk menyelamat-kannya (pasal 43). Sekali lagi, tidak disebutkan apa penyebab kesulitan hidupnya. Semua itu tidak dipaparkan secara rinci supaya kita juga bisa menyanyikan mazmur ini tentang persoalan apa pun saat Tuhan terasa jauh dari kita. Ayat-ayat terakhirnya adalah kata-kata pengharapan (ay.3-5). Pemazmur yakin bahwa terang dan kebenaran Allah akan membawanya kembali ke Yerusalem dan kepada Allah sehingga ia bisa kembali memuji-Nya dalam kumpulan umat Allah.
Sesungguhnya saat ini orang Kristen memiliki hadirat Allah karena Roh Kudus-Nya menyertai ke mana pun kita pergi. Namun, tak dapat dipungkiri ada masa-masa ketika Tuhan terasa jauh. Mazmur 42 dan 43 merupakan nyanyian yang tepat bagi saat-saat seperti itu serta menjadi pengingat bahwa kita akan kembali kepada Allah, “sukacitaku dan kegembiraanku” (43:4).
Mazmur 42 dan 43 menggambarkan pengalaman orang yang merasa ditinggalkan oleh Allah. Keduanya mengingatkan kita pada Yesus, yang di kayu salib mengalami pedihnya ditinggalkan Allah lebih daripada siapa pun juga. Di Taman Getsemani, Dia berdoa, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Matius 26:38). Namun, Yesus pun tetap berharap kepada Allah.
Sejak Hari Pentakosta, umat Allah telah mengalami kehadiran Allah melalui Roh-Nya, kapan pun dan di mana pun. Dalam kehidupan rohani, kesamaan dan perbedaan apa yang kita miliki dengan penulis Mazmur 42–43 yang hidup dalam Perjanjian Lama?
Saat tertekan, pemazmur mengingatkan dirinya, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku?” Apa yang bisa kita pelajari darinya tentang pengaruh pikiran dan perasaan terhadap keputusasaan?
Anda dapat memberi dampak yang berarti
Persembahan kasih seberapa pun memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubah hidup.
Komentar (0)